Tuesday, November 04, 2008

Pulau Monyet

Oleh : Farabi Al Mishri

Tersebutlah sebuah pulau yang dihuni oleh banyak monyet. Selain monyet,
pulau tersebut juga memiliki hamparan pohon kelapa yang melimpah,
sehingga monyet telah dijadikan sebagai pemetik buah kelapa menggantikan
peran manusia. Harga seekor monyet awalnya hanya senilai $10/ekor, namun
belakangan terus meningkat terutama sejak Mr. Greedy berani membayar
seekor monyet dengan harga dua kali lipat.

Melihat peluang bisnis dan dalih jasa pemetikan kelapa, Mr. Greedy
terdorong untuk memiliki monyet dalam jumlah yang lebih banyak.
Perburuan monyetpun dilakukan, setiap penduduk yang memiliki monyet
ditawarkan harga yang menarik, yaitu $20 per ekor. Kini masyarakat
ramai-ramai menjualnya dengan harga di atas pasaran, dan bahkan menembus
harga $40/ekor.

Mr. Greedy belum puas, dikala populasi monyet semakin berkurang dan
penduduk sudah tidak memiliki monyet lagi, ia menawarkan harga dua kali
lipat lebih, yaitu $95 untuk setiap monyet. Penduduk pun ramai-ramai
mencari sumber monyet dari berbagai tempat termasuk di pulau lain, namun
sayang di pulau-pulau lain tersebut, monyet sulit ditemui. Kalaupun
didapat ongkosnya tidak sebanding dengan biaya perolehan.

Melihat peruntungan yang menarik, apalagi Mr. Greedy bersedia membayar
$95 per ekor, maka penduduk semakin bernafsu memperolehnya. Melihat
situasi demikian, Mr. Cunning, si licik, kepercayaan Mr. Greedy mulai
mengatur siasat. Ia membobol kandang monyet milik Mr. Greedy seolah-olah
dicuri maling, kemudian menjualnya kepada para pencari monyet seharga
$55 per ekor. Maka mereka pun berbondong-bondong membeli monyet di harga
itu, dengan harapan Mr. Greedy akan membelinya senilai $95.

Hitung-hitungan kasar dari spekulasinya, para pembeli itu akan
memperoleh keuntungan $40 per ekor ($95 - $55). Namun yang terjadi
adalah sebaliknya, Mr. Greedy enggan membayar monyet-monyet itu dengan
harga penawaran terakhir, yaitu $95, karena menurutnya monyet-monyet itu
adalah miliknya yang diambil oleh maling. Bersamaan dengan peristiwa
itu, Mr. Cunning sudah raib ditelan bumi, ia pergi meninggalkan pulau
itu dan tidak jelas rimbanya lagi.

Pemilik monyet-monyet itu nasibnya kini sama persis dengan pemegang
Collateralized Debt Obligations (CDOs), surat/sekuritas subprime
mortgage. Harga monyetnya tidak lebih dari $10, sama seperti harga
sebelum dibeli oleh Mr. Greedy. Sementara Mr. Greedy dan patnernya, Mr.
Cunning meraup keuntungan per ekor monyet tertinggi sebesar $45 ($55 -
$10), $35 ($55 - $20), dan keuntungan terendah, $15 ($55 - $40).
Penduduk pulau monyet hanya gigit jari, keuntungan besar yang diharapkan
dari spekulasi tersebut berbuntut kerugian yang menyesakkan dada.
Sementara Mr. Greedy dan Mr. Cunning kabur menikmati dolarnya.

Kisah pulau monyet itulah yang barangkali terjadi di belantara bisnis
CDOs di negeri Paman Sam. Dikala Federal Reserves (Fed), Bank Sentral
AS, menurunkan suku bunganya menjadi 1%-1,75% pada awal tahun 2000-an,
menyebabkan bisnis sektor perumahan menggelembung, bahkan debitur yang
berpenghasilan pas-pasan atau sebenarnya tidak layak (subprime) bisa
memperoleh mortgages atau seperti kredit pemilikan rumah di negeri ini.
Analoginya seperti kasus pemegang kartu kredit yang berasal dari
golongan berpendapatan rendah, namun memiliki banyak kartu kredit.

Bank pemberi mortgage (KPR) kemudian menjual subprime mortgage yang
berisiko tinggi tersebut melalui proses sekuritisasi, yaitu mengubah
obligasi mortgage menjadi sekuritas (surat berharga) baru yang disebut
Collaterized Debt Obligations (CDOs) atau sebagai Mortgage Back
Securities, surat berharga beragun KPR. CDO tersebut tercipta melalui
pemilahan dari beberapa mortgage yang potensial/kurang potensial dengan
financial asset lain, kemudian produk derivasinya (turunan)
diasuransikan serta memasukkannya dalam lembaga pemeringkat (Rating
Agency), sehingga bank dapat menjual pada harga rating AAA (berisiko
rendah), BBB (sedang), dan CCC (tinggi).

Rekayasa tersebut sebenarnya syarat dengan kolusi dan moral hazard dari
berbagai pihak, antara lain mortgage lender (bank), broker mortgage,
maupun agen pemeringkat. Hasil rekayasa tersebut telah mampu membangun
image kepercayaan, sehingga CDOs tersebut menyebar tidak saja di AS
tetapi juga ke belahan dunia, seperti daratan Eropa, dan Australia yang
saat ini paling terasa dampaknya.

Pada tahun 2000 – medio 2005 harga pasar rumah meningkat lebih dari
10%, sehingga pengembangan sektor perumahan menjadi sangat pesat, bahkan
40% rumah yang dibeli merupakan investasi atau rumah kedua. Martin
Feldstein, mantan penasehat ekonomi AS, mengestimasikan bahwa selama
tahun 1997 – 2007, konsumen membelanjakan lebih dari USD 9 triliun
untuk home equity-nya. Dibarengi dengan dikeluarkannya instrumen
Adjustable Rate Mortgage (ARMs) oleh Menteri Keungan AS, yaitu pengenaan
bunga lebih rendah dari pasar selama 2 tahun pertama, dan pada tahun
selanjutnya mengikuti tingkat bunga yang berlaku, yang menyebabkan bank
menikmati penambahan hasil.

Secara bertahap sejak Juni 2004 Fed mulai menaikkan suku bunga hingga
5,25% pada Agustus 2007, kredit-kredit ini mulai menuai masalah,
sehingga banyak perusahaan penerbit mortgage (investment banks)
mengalami kerugian besar dan tidak bisa membayar kewajibannya kepada
pemegang CDO. Hal itu karena, para debitur KPR banyak yang menunggak
alias mengalami gagal bayar termasuk subprime mortgage, dan terjadilah
penyitaan rumah secara besar-besaran. Menurut Reality Trac (perusahaan
penyedia data penyitaan rumah di AS) mencatat tidak kurang dari 2,5 juta
rumah disita, hal ini mengakibatkan harga rumah turun tajam apalagi di
daerah yang memiliki excess supply (kelebihan penawaran).

Dampaknya bisa diterka, investor besar seperti Lehman Brothers misalnya
yang membeli CDO mengalami kerugian besar, dan hal ini mengakibatkan
harga saham atau nilai aktiva bersih dari investor yang memiliki CDO
harganya turun, yang berantai kepada investor besar/retail lainnya.
Kebanyakan investor menjual portfolio (termasuk sahamnya) secara
besar-besaran di berbagai pasar dunia, dan efek dominonya secara
keseluruhan pasar modal (bursa saham) dunia mengalami penurunan sangat
tajam.

Beberapa perusahaan yang terkena dampak dan mengalami tekanan
keuangannya antara lain adalah Lehman Brothers, dan WaMu (bangkrut),
Fannie Mac, Freddie Mac, AIG, Fortis, Bradford & Bingley, dan GLINTNIR
(dinasionalisasi), Merrill Lynch, HBOS, dan WACLIOVIA (diambil alih
(take over) oleh pemerintah federal), dan Hypo Real Estate (paket
penyelamatan).

Kondisi tersebut menyebabkan penuruan Index Dow Jones dan lainnya yang
biasa dijadikan referensi para investor. Krisis subprime mortgage di AS
tersebut kemudian menjalar ke negara lain secara langsung seperti
Inggris, Perancis, Jerman, Belgia, Icelandia, China, dan Australia.
Secara teoritis, alhamdulillah perbankan di Indonesia tidak terkena
dampaknya, karena Peraturan Bank Indonesia tidak memperkenankan
bank-bank membeli surat hutang berisiko tinggi. Namun dari pasar modal,
investor Indonesia banyak yang mengalami kerugian akibat turunnya saham
perusahaan lokal apalagi yang terkait dengan Lehman Brothers. Tetapi
peran pasar modal di Indonesia kurang dari 10% (Dr. Faisal Basri),
sedangkan 80% peran dalam sistem keuangan ada pada sektor perbankan.

Jadi secara teoritis aneh jika kita harus cemas dan kalut menghadapi
situasi ini, kecuali mereka yang bermain saham, bukankah hal itu memang
sudah menjadi resikonya?. Senyatanya dunia ini selalu ada orang-orang
seperti Mr. Greedy (serakah) dan Mr. Cunning (licik). Bukankah para
Yahudi (tidak semua Yahudi. red) memang lebih senang berbisnis di sektor
abstrak (maya) daripada sektor riil. Pasar uang, pasar modal, dan bursa
berjangka (komoditi) adalah bidang-bidang yang banyak mereka geluti,
sebutlah salah satunya George Soros.

Allah SWT berfirman, "Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang
jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang
rendah ini," (QS. Al A'raaf, 7:169). Sejatinya mereka malas
bekerja di sektor riil menjadi petani misalnya atau yang berhubungan
dengan aktivitas bisnis riil. Oleh karenanya ketika sore kemarin kurs
dolar terhadap rupiah ditutup pada harga Rp11.000 an, dari kurs beberapa
hari sebelumnya di Rp9.000-an, saya bertanya-tanya, apakah mereka
seperti orang-orang yang tinggal di Pulau Monyet, yang tertipu oleh
konspirasi Mr. Cunning dan sepak terjang Mr. Greedy?.

Jika mereka membeli US Dolar pada harga Rp10.000 dengan harapan menjadi
Rp15.000, apakah itu tidak ada bedanya dengan mereka yang membeli monyet
pada harga $55 dengan harapan bisa dijual pada harga $95?. Bukankah itu
spekulasi?, ya. Itu namanya spekulasi karena mengharapkan nilai lebih
tanpa transaksi yang mendasari (Underlying Transactions). Jika seseorang
membeli dolar karena ada kewajiban dalam waktu dekat yang harus
dipenuhi, mungkin hal itu bisa diterima syari'at atau untuk membayar
uang kuliah anaknya yang sekolah di AS misalnya. Tetapi kalau hanya
untuk mencari untung, secara kaidah ekonomi tentu sah-sah saja, tetapi
bukankah spekulasi itu Judi?.

Dahulu memang belum ada bursa efek, dan pasar uang (foreign exchange),
tetapi berbisnis dengan maksud mengadu nasib melalui spekulasi dan
sekedar mencari peruntungan bukankah itu sama halnya dengan mengundi
dengan anak panah?. Dalam pemahaman saya, membeli saham atau valuta
asing tanpa underlying transactions adalah sama halnya dengan mengadu
nasib. Untuk itu Allah SWT telah mengingatkan kita semua, "Dan
(diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib
dengan anak panah itu) adalah kefasikan." (QS. Al Maaidah, 5:3).

Sama halnya dengan para penduduk di Pulau Monyet, jika mereka membeli
monyet dengan maksud untuk dijadikan tenaga pemetik kelapa, mengacu pada
ayat diatas tentu dibolehkan. Namun ketika tujuannya menjadi spekulasi
atau sekedar mencari keuntungan, itulah yang dinamakan mengundi nasib.
Atau ketika seseorang membeli US dolar dengan harapan kursnya naik
menjadi USD/Rp16.000 misalnya – tentu tidak ada bedanya. Selain
mengundi nasib, bukankah akibat naiknya dolar akibat sentimen pasar
(direkayasa) akan menyebabkan harga-harga barang membumbung ke langit,
yang pada gilirannya menyusahkan orang banyak?.

Mungkin kita mempunyai uang banyak, tetapi apakah itu bijak, jika karena
daya beli tinggi, maka kita bisa sesuka hati melakukan sesuatu yang
menyimpang dari tujuan kita dititipi harta (uang) yang melimpah.
Disadari bahwa di balik titipan itu, ada sebuah amanat di dalamnya,
yaitu untuk kemanfaatan dan kemaslahatan orang banyak. Allah SWT pun
telah mengingatkan hal itu melalui firman-Nya, "Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan
(juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan
kepadamu, sedang kamu mengetahui." (QS. Al Anfaal, 8:27). Kita
memang bukan penduduk Pulau Monyet, dan kitapun tidak akan berperilaku
seperti penduduk di pulau itu, yang mau begitu saja dibodohi. Sehingga
negeri ini selamat dari tipu daya dan perilaku manusia-manusia seperti
Mr. Greedy dan Mr. Cunning. Insya Allah (fam).

No comments: